SALMAN AL- FARISI : PROFIL PEJABAT YANG SANGAT SEDERHANA
كُلُّكُمْ رَاءٍ وَكُلُّكُمْ مَّسْءُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
. فَالْإِمَامُ رَاءٍ وَهُوَ مَسْءُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap
orang adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Seorang
raja/penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keikhlasan Beramal
Kehidupan para sahabat Nabi banyak dipenuhi berbagai macam pribadi
cemerlang yang menjadi suri teladan bagi generasi yang datang kemudian. Dan
pangkal dari pribadi cemerlang itu adalah semata-mata karena dorongan
keikhlasan dalam memeluk Islam dan menjalankan syariat-syariatnya. Bagi mereka,
apapun resikonya mereka terima dan dihadapi dengan jiwa yang tabah, istiqamah.
Yang penting Allah meridhoi perjalanan dan perjuangan hidupnya. Semboyan yang
berkembang ketika itu adalah : hidup
mulia atau mati syahid!
Untuk mencapai cita-cita yang begitu tinggi, mereka tanggalkan secara
ikhlas kesenangan hidupnya di dunia. Jabatan yang tinggi lagi empuk, kekuasaan
yang besar, serta kekayaan yang berlimpahan, mereka terima sebagai amanat yang
harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Yang Maha Agung. Dan salah seorang
sahabat Nabi yang telah merelakan kesenangan hidup di dunia ini adalah Salman Al-Farisi.
Ia adalah salah seorang Sahabat Nabi yang sangat sederhana hidupnya dan
salah seorang Sahabat Nabi yang gagah berani lagi cerdas otaknya. Ia mampu
menciptakan teori penggalian parit di sekitar Madinah, tatkala pasukan musuh
hendak menggempurnya. Ia juga dikenal sebagai salah seorang Sahabat Nabi yang
memiliki akhlakul karimah, sehingga Rasulullah memasukkannya ke dalam golongan
Ahlul-Bait.
Pencari Kebenaran
Semenjak kecil, Salman
dibesarkan dalam suasana serba kemewahan, Ayahnya adalah seorang pejabat tinggi
yang kaya raya di Parsi. Tapi ia juga dididik agar menjadi Majusi yang baik.
Sehingga kepadanyalah dibebani tanggung jawab menjaga api Majusi di
rumah-sesembahan penduduk agar tetap menyala sepanjang waku.
Tetapi sesuatu terjadi. Ketika
Salman telah dewasa, ia “berontak” dari lingkungan agama nenek moyangnya. Ia
masuk ke gereja, mempelajari ajaran-ajarannya dan mencoba menjadi penganut
Nasrani yang taat.
Ayahnya marah dan menyiksanya
dengan keras. Tapi Salman tetap tabah tak mempedulikannya. Setelah lolos dari
amukan sang Ayah, Ia segera bergabung dengan para pemuka Nasrani di Syria, di
Mosul, di Nasibin, dan di Amuria yang masuk dalam kekuasaan Imperium Romawi.
Tapi semakin Ia mendalami ajaran-ajaran Nasrani dan bergaul akrab dengan para
pemimpinnya, justru ia semakin banyak menemui kekecewaan.
Salman lantas pergi meninggalkan
gereja dan hidup sebagai budak belian yang selalu berganti-ganti majikan.
Sewaktu menjalani kehiduan
sebagai budak belian, ia mendengar datangnya seorang Nabi akhir-zaman, yang
membawa kebenaran hakiki.
Darah muda Salman berdesir,
ingin sekali bertemu dengan nabi yang selalu disebut-sebut dalam kitab-kitab
lama yang telah dipelajarinya. Sekaligus untuk membuktikan kebenaran tentang
kenabiannya.
Dengan melalui proses panjang
penuh resiko, Salman berhasil menemui Rasulullah dan masuk Islam setelah
berhasil membuktikan kebenaran tentang kenabiannya.
Jabatan itu Manis
Berbagai perjuangan Rasulullah
menghadapi musuh-musuhnya hampir selalu diikuti oleh Salman dengan penuh
kesungguhan dan kesadaran. Ketika Rasulullah wafat, Khalifah abu Bakar dan
Khalifah berikutnya menugaskan Salman menjadi pemimpin masyarakat untuk wilayah
Mada’in dalam kedudukannya sebagai Amir,
semacam gubernur di masa sekarang.
Salman sebetulnya menolak
menduduki jabatan yang begitu tinggi, dibawah Khalifah langsung, “jabatan itu manis waktu memegangnya, tetapi
pahit waktu melepaskannya” kata Salman suatu hari. Tapi lantaran
pengabdiannya kepada Allah dan Rasul-Nya, jabatan itu terpaksa diterima dengan
penuh tanggung jawab. Karena itu ia pun menjadi sangat baik kepada rakyatnya,
dan hidup di tengah-tengah mereka.
Segala kepentingan rakyat
diperhatikannya dengan baik. Juga kepentingan dirinya dalam rangka mengabdi
kepada Allah, taqarrub ilallah.
Hingga demikian wilayah Mada’in menjadi tentram, tak ada gangguan yang berarti.
Demikianlah memang tabiat suatu negeri yang bila diperintah oleh penguasa yang
adil dan bijaksana dan memperhatikan keadaan rakyatnya dengan sungguh-sungguh,
keadaan negerinya akan aman sentosa. Rakyat merasa terlindungi di dalam
kekuasaan penguasa yang baik hati.
Sebagai seorang Amir, Salman mendapat tunjangan sampai
6.000 dinar setahun (jumlah yang sangat sederhana untuk ukuran waktu itu).
Meskipun demikian, hampir seluruh tunjangannya itu tidak mau dimakannya
sendiri, tetapi diserahkan kepada fakir miskin. Ia cuma mengambil satu dirham
yang digunakan sebagai modal untuk membeli daun dan pelepah kurma yang lantas
dianyam dan dijual sendiri ke pasar, dan laku tiga dirham.
Uang tiga dirham itu dibagi
tiga, satu dirham untuk menjadi modal kembali, satu dirham untuk memberi nafkah
keluarganya, dan satu dirham untuk diberikan kepada fakir miskin. Begitu selalu
dilakukan Salman Al-Farisi, Amir negeri Mada’in.
“Seandainya amirul Mukminin melarangku berbuat demikian, saya tidak
akan menghentikannya sama sekali”, begitu
tekad Salman.
Selain
itu, Salman juga dikenal sebagai seorang pejabat tinggi yang sangat senang
membantu orang yang kesulitan. Suatu hari, ia melihat seorang Syria kerepotan
membawa barang-barang dagangan. Begitu melihat Salman lewat, si Syria itu
langsung menyuruh Salman membawakan barang-barangnya.
Tanpa merasa malu atau
tersinggung karena dirinya seorang gubernur, Salman langsung saja memanggul
barang-barang dagangan itu sampai ke tempat tujuan. Di tengah jalan, banyak
orang mengucapkan salam kepadanya. Salman pun membalas dengan hangat. Dan salah
seorang yang mengucapkan salam itu bahkan menyebutkan jabatannya, “Assalamu’alaikum, yaa Amir”
Mendengar nama Amir diebut,
orang Syria itu kaget bercampur takut. Ia tidak menyangka sama sekali fika “kuli” yang membawa barangnya adalah
Salman Al-Farisi, Amir negeri Mada’in. Dengan penuh rasa hormat, orang itu
meminta barangnya untuk dibawanya sendiri. Tapi Salman tidak membolehkannya. Ia
terus membawanya sampai ke tempat tujuan.
Nasehat untuk Sahabat
Di rumahnya, Salman tanpa ragu mengerjakan sendiri apa yang semestinya
dikerjakan pelayannya, seperti memasak, dsb. Sedang rumahnya sangat sederhana,
tidak mengesankan sebagai rumah seorang gubernur. Sebaliknya, lebih menyerupai
rumah rakyat kecil yang miskin. Betapa tidak ?
Bangunannya hanya sekedar dapat
digunakan bernaung diwaktu panas dan berteduh di kala hujan. Jika penghuninya
berdiri, kepalanya terantuk sampai langit-langit, dan jika berbaring, kakinya
sampai ke dinding. Sedang di dalamnya tak ada perabotan kecuali sebuah piring
untuk makan dan sebuah baskom untuk persediaan air. Meski demikian, ia tetap
risau, menganggap barang yang dimilikinya masih berlebihan.
Sewaktu Sa’ad bin Abi Waqqash
datang ke rumahnya, ia menjumpai Salman sedang menangis sedih. “Demi Allah,” kata Salman kepada
tamunya, “saya menangis bukan karena
takut mati atau mengharap kemewahan hidup di dunia, tapi ingat pesan Rasulullah
yang berbunyi :
لِيَكُنْ حَظُّ أَحَدِكُمْ مِنَ
الدُّنْياَ مِثْلُ زَادِ الرَّاكِبِ
“Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal
seorang pengelana”,
padahal
barang yang saya miliki cukup banyak”, kata Salman mengakhiri tangisnya.
Sa’ad, tamunya,
geleng-geleng kepala melihat kesederhanaan hidup Salman yang susah dicari tolok
bandingannya. Karena itu, sangat tepat ketika Sa’ad meminta nasehatnya sebagai
kenang-kenangan dari hidupnya.
“Wahai Sa’ad, ingatlah
Allah dikala dukamu sedang kau derita. Dan pada putusanmu dikala kau menghukum,
dan pada keadilan dikala kau sedang melakukan pembagian.”
Demikianlah nasehat Salman
kepada Sa’ad yang dikenal pula sebagai panglima gagah berani seperti dirinya.
Salman akhirnya wafat dalam keadaan bersih, tidak meninggalkan harta yang
berarti, kecuali pesan-pesannya yang terus dikenang lantaran didukung oleh
sikap dan sifat hidupnya yang sederhana dan ikhlas, yang sudah sangat jarang
ditemukan dalam kehidupan akhir-akhir ini.
Oleh : Badruzzaman
Busyairi
Sumber : Buletin Dakwah
No 3 Th. ke XIV ( Jumadil awal 1407 H / Januari 1987 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar