Jumat, 03 Juli 2015

Kisah Sahabat Nabi : Salman Al-Farisi

SALMAN AL- FARISI : PROFIL PEJABAT YANG SANGAT SEDERHANA


كُلُّكُمْ رَاءٍ وَكُلُّكُمْ مَّسْءُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ . فَالْإِمَامُ رَاءٍ وَهُوَ مَسْءُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap orang adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Seorang raja/penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya…”  (HR. Bukhari dan Muslim)

Keikhlasan Beramal
Kehidupan para sahabat Nabi banyak dipenuhi berbagai macam pribadi cemerlang yang menjadi suri teladan bagi generasi yang datang kemudian. Dan pangkal dari pribadi cemerlang itu adalah semata-mata karena dorongan keikhlasan dalam memeluk Islam dan menjalankan syariat-syariatnya. Bagi mereka, apapun resikonya mereka terima dan dihadapi dengan jiwa yang tabah, istiqamah. Yang penting Allah meridhoi perjalanan dan perjuangan hidupnya. Semboyan yang berkembang ketika itu adalah : hidup mulia atau mati syahid!
Untuk mencapai cita-cita yang begitu tinggi, mereka tanggalkan secara ikhlas kesenangan hidupnya di dunia. Jabatan yang tinggi lagi empuk, kekuasaan yang besar, serta kekayaan yang berlimpahan, mereka terima sebagai amanat yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Yang Maha Agung. Dan salah seorang sahabat Nabi yang telah merelakan kesenangan hidup di dunia ini adalah Salman Al-Farisi.
Ia adalah salah seorang Sahabat Nabi yang sangat sederhana hidupnya dan salah seorang Sahabat Nabi yang gagah berani lagi cerdas otaknya. Ia mampu menciptakan teori penggalian parit di sekitar Madinah, tatkala pasukan musuh hendak menggempurnya. Ia juga dikenal sebagai salah seorang Sahabat Nabi yang memiliki akhlakul karimah, sehingga Rasulullah memasukkannya ke dalam golongan Ahlul-Bait.

Pencari Kebenaran
                Semenjak kecil, Salman dibesarkan dalam suasana serba kemewahan, Ayahnya adalah seorang pejabat tinggi yang kaya raya di Parsi. Tapi ia juga dididik agar menjadi Majusi yang baik. Sehingga kepadanyalah dibebani tanggung jawab menjaga api Majusi di rumah-sesembahan penduduk agar tetap menyala sepanjang waku.
                Tetapi sesuatu terjadi. Ketika Salman telah dewasa, ia “berontak” dari lingkungan agama nenek moyangnya. Ia masuk ke gereja, mempelajari ajaran-ajarannya dan mencoba menjadi penganut Nasrani yang taat.
                Ayahnya marah dan menyiksanya dengan keras. Tapi Salman tetap tabah tak mempedulikannya. Setelah lolos dari amukan sang Ayah, Ia segera bergabung dengan para pemuka Nasrani di Syria, di Mosul, di Nasibin, dan di Amuria yang masuk dalam kekuasaan Imperium Romawi. Tapi semakin Ia mendalami ajaran-ajaran Nasrani dan bergaul akrab dengan para pemimpinnya, justru ia semakin banyak menemui kekecewaan.
                Salman lantas pergi meninggalkan gereja dan hidup sebagai budak belian yang selalu berganti-ganti majikan.
                Sewaktu menjalani kehiduan sebagai budak belian, ia mendengar datangnya seorang Nabi akhir-zaman, yang membawa kebenaran hakiki.
                Darah muda Salman berdesir, ingin sekali bertemu dengan nabi yang selalu disebut-sebut dalam kitab-kitab lama yang telah dipelajarinya. Sekaligus untuk membuktikan kebenaran tentang kenabiannya.
                Dengan melalui proses panjang penuh resiko, Salman berhasil menemui Rasulullah dan masuk Islam setelah berhasil membuktikan kebenaran tentang kenabiannya.


Jabatan itu Manis
                Berbagai perjuangan Rasulullah menghadapi musuh-musuhnya hampir selalu diikuti oleh Salman dengan penuh kesungguhan dan kesadaran. Ketika Rasulullah wafat, Khalifah abu Bakar dan Khalifah berikutnya menugaskan Salman menjadi pemimpin masyarakat untuk wilayah Mada’in dalam kedudukannya sebagai Amir, semacam gubernur di masa sekarang.
                Salman sebetulnya menolak menduduki jabatan yang begitu tinggi, dibawah Khalifah langsung, “jabatan itu manis waktu memegangnya, tetapi pahit waktu melepaskannya” kata Salman suatu hari. Tapi lantaran pengabdiannya kepada Allah dan Rasul-Nya, jabatan itu terpaksa diterima dengan penuh tanggung jawab. Karena itu ia pun menjadi sangat baik kepada rakyatnya, dan hidup di tengah-tengah mereka.
                Segala kepentingan rakyat diperhatikannya dengan baik. Juga kepentingan dirinya dalam rangka mengabdi kepada Allah, taqarrub ilallah. Hingga demikian wilayah Mada’in menjadi tentram, tak ada gangguan yang berarti. Demikianlah memang tabiat suatu negeri yang bila diperintah oleh penguasa yang adil dan bijaksana dan memperhatikan keadaan rakyatnya dengan sungguh-sungguh, keadaan negerinya akan aman sentosa. Rakyat merasa terlindungi di dalam kekuasaan penguasa yang baik hati.
                Sebagai seorang Amir, Salman mendapat tunjangan sampai 6.000 dinar setahun (jumlah yang sangat sederhana untuk ukuran waktu itu). Meskipun demikian, hampir seluruh tunjangannya itu tidak mau dimakannya sendiri, tetapi diserahkan kepada fakir miskin. Ia cuma mengambil satu dirham yang digunakan sebagai modal untuk membeli daun dan pelepah kurma yang lantas dianyam dan dijual sendiri ke pasar, dan laku tiga dirham.
                Uang tiga dirham itu dibagi tiga, satu dirham untuk menjadi modal kembali, satu dirham untuk memberi nafkah keluarganya, dan satu dirham untuk diberikan kepada fakir miskin. Begitu selalu dilakukan Salman Al-Farisi, Amir  negeri Mada’in.
                “Seandainya amirul Mukminin melarangku berbuat demikian, saya tidak akan menghentikannya sama sekali”,  begitu tekad Salman.
                Selain itu, Salman juga dikenal sebagai seorang pejabat tinggi yang sangat senang membantu orang yang kesulitan. Suatu hari, ia melihat seorang Syria kerepotan membawa barang-barang dagangan. Begitu melihat Salman lewat, si Syria itu langsung menyuruh Salman membawakan barang-barangnya.
                Tanpa merasa malu atau tersinggung karena dirinya seorang gubernur, Salman langsung saja memanggul barang-barang dagangan itu sampai ke tempat tujuan. Di tengah jalan, banyak orang mengucapkan salam kepadanya. Salman pun membalas dengan hangat. Dan salah seorang yang mengucapkan salam itu bahkan menyebutkan jabatannya, “Assalamu’alaikum, yaa Amir”
                Mendengar nama Amir diebut, orang Syria itu kaget bercampur takut. Ia tidak menyangka sama sekali fika “kuli” yang membawa barangnya adalah Salman Al-Farisi, Amir negeri Mada’in. Dengan penuh rasa hormat, orang itu meminta barangnya untuk dibawanya sendiri. Tapi Salman tidak membolehkannya. Ia terus membawanya sampai ke tempat tujuan.


Nasehat untuk Sahabat
Di rumahnya, Salman tanpa ragu mengerjakan sendiri apa yang semestinya dikerjakan pelayannya, seperti memasak, dsb. Sedang rumahnya sangat sederhana, tidak mengesankan sebagai rumah seorang gubernur. Sebaliknya, lebih menyerupai rumah rakyat kecil yang miskin. Betapa tidak ?
                Bangunannya hanya sekedar dapat digunakan bernaung diwaktu panas dan berteduh di kala hujan. Jika penghuninya berdiri, kepalanya terantuk sampai langit-langit, dan jika berbaring, kakinya sampai ke dinding. Sedang di dalamnya tak ada perabotan kecuali sebuah piring untuk makan dan sebuah baskom untuk persediaan air. Meski demikian, ia tetap risau, menganggap barang yang dimilikinya masih berlebihan.
                Sewaktu Sa’ad bin Abi Waqqash datang ke rumahnya, ia menjumpai Salman sedang menangis sedih. “Demi Allah,” kata Salman kepada tamunya, “saya menangis bukan karena takut mati atau mengharap kemewahan hidup di dunia, tapi ingat pesan Rasulullah yang berbunyi :

 لِيَكُنْ حَظُّ أَحَدِكُمْ مِنَ الدُّنْياَ مِثْلُ زَادِ الرَّاكِبِ

“Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengelana”,
                padahal barang yang saya miliki cukup banyak”,  kata Salman mengakhiri tangisnya.
                Sa’ad, tamunya, geleng-geleng kepala melihat kesederhanaan hidup Salman yang susah dicari tolok bandingannya. Karena itu, sangat tepat ketika Sa’ad meminta nasehatnya sebagai kenang-kenangan dari hidupnya.
“Wahai Sa’ad, ingatlah Allah dikala dukamu sedang kau derita. Dan pada putusanmu dikala kau menghukum, dan pada keadilan dikala kau sedang melakukan pembagian.”
                Demikianlah nasehat Salman kepada Sa’ad yang dikenal pula sebagai panglima gagah berani seperti dirinya. Salman akhirnya wafat dalam keadaan bersih, tidak meninggalkan harta yang berarti, kecuali pesan-pesannya yang terus dikenang lantaran didukung oleh sikap dan sifat hidupnya yang sederhana dan ikhlas, yang sudah sangat jarang ditemukan dalam kehidupan akhir-akhir ini.



Oleh : Badruzzaman Busyairi
Sumber : Buletin Dakwah No 3 Th. ke XIV ( Jumadil awal 1407 H / Januari 1987 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar