Senin, 05 September 2016

Kisah Shahabiyah : Khaulah binti Tsa'labah

KHAULAH BINTI TSA’LABAH
(Wanita yang aduannya didengar Allah dari langit ke tujuh)


Beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa’labah Ghanam bin ‘Auf. Beliau tumbuh sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliau dinikahi oleh Aus bin Shamit bin Qais, saudara dari Ubadah bin Shamit r.a. yang beliau menyertai Perang Badar dan Perang Uhud dan mengikuti seluruh peperangan yang disertai Rasulullah SAW. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak laki-laki yang bernama Rabi’.
Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya, Aus bin Shamit dalam masalah yang membuat Aus marah, dia berkata, “Bagiku engkau ini seperti punggung ibuku.” Kemudian Aus keluar setelah mengatakan kalimat tersebut dan duduk bersama orang-orang beberapa lama lalu dia masuk dan menginginkan Khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah Islam. Khaulah berkata, “Tidak...jangan! Demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku sehingga Allah dan Rasul-Nya lah yang memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita.”
Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah SAW., lalu dia duduk di hadapan beliau dan menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan suaminya. Keperluannya adalah untuk meminta fatwa dan berdialog dengan Nabi tentang urusan tersebut. Rasulullah SAW bersabda, “kami belum pernah mendapatkan perintah berkenaan urusan tersebut..aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”  
Wanita mukminah ini mengulangi perkataannya dan menjelaskan kepada Rasulullah SAW apa yang menimpa dirinya dan anaknya jika dia harus cerai dengan suaminya, namun Rasulullah SAW tetap menjawab, “Aku tidak melihat melainkan engkau telah haram baginya.”
Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Pada kedua matanya nampak meneteskan air mata dan semacam ada penyesalan, maka beliau menghadap kepada Yang tiada akan rugi siapapun yang berdo’a, “Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang menimpa diriku.”
Alangkah bagusnya seorang wanita mukminah semacam Khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah SAW dan berdialog untuk meminya fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan melainkan untuk Allah Ta’ala. Ini adalah bukti kejernihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat kepada Rasulullah SAW.
Tiada henti-hentinya wanita ini berdo’a sehingga suatu ketika Rasulullah SAW pingsan sebagaimana beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian setelah Rasulullah SAW sadar kembali, beliau bersabda, “wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan Al-Qur’an tentang dirimu dan suamimu .” kemudian beliau membaca firman-Nya, yang artinya :
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan [halnya] kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
 ( QS. Al Mujaadilah : 1-4)
Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Zhihar :
Rasulullah SAW        : Perintahkan kepadanya (suami Khansa’) untuk memerdekakan seorang budak.
Khaulah                        : Ya Rasulullah, dia tidak memiliki seorang budak yang bisa dia merdekakan.
Rasulullah SAW        : Jika demikian perintahkan kepadanya untuk shaum dua bulan berturut-turut
Khaulah                        : Demi Allah, dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan shaum.
Rasulullah SAW        : Perintahkan kepadanya memberi makan dari kurma sebanyak 60 orang miskin.
Khaulah                        : Demi Allah, ya Rasulullah, dia tidak memilikinya.
Rasulullah SAW        : Aku bantu dengan separuhnya.
Khaulah                        : Aku bantu separuhnya yang lain, wahai Rasulullah.
Rasulullah SAW        : Engkau benar dan baik maka pergilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagai kafarat baginya, kemudian bergaulah dengan anak pamanmu itu secara baik.
Maka Khaulah pun melaksanakannya.

Inilah kisah seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak Adam AS. yang mengandung banyak pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang wanita yang mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bangga dan perasaan mulia dan besar perhatian Islam terhadapnya.
Ummul mukminin, Aisyah RA. berkata tentang hal ini, “Segala puji bagi Allah Yang Maha Luas Pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Rasulullah SAW, dia berbincang-bincang dengan Rasulullah SAW, sementara aku berada di samping rumah dan tidak mendengar apa yang dia katakan, maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan [halnya] kepada Allah... (QS. Al Mujaadilah : 1)
Inilah wanita mukminah yang dididik oleh Islam yang menghentikan Khalifah Umar bin Khaththab RA saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Beliau berkata, “Wahai Umar, aku telah mengenalmu sejak namamu dahulu masih Umair (Umar kecil), tatkala engkau berada di Pasar Ukazh, engkau menggembala kambing dengan tongkatmu, kemudian berlalulah hari demi hari sehingga memiliki nama Amirul Mukminin. Maka bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu, ketahuilah, barangsiapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya dan barangsiapa yang takut mati maka dia akan takut kehilangandan barangsiapa yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap azab Allah.” Beliau katakan hal itu sementara Umar, Amirul Mukminin berdiri sambil menundukkan kepala dan mendengar perkataannya.
Akan tetapi al-Jarud al-Abdi yang menyertai Umar bin Khaththab tidak tahan mengatakan kepada Khaulah, “Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul Mukminin wahai wanita..!” Umar kemudian menegurnya, “Biarkan dia.. tahukah kamu siapakah dia? Beliau adalah Khaulah, yang Allah mendengarkan perkataannya dari langit yang ketujuh, maka Umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya.”
Dalam riwayat lain, Umar bin Khaththab berkata, “Demi Allah, seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya kepadaku hingga malam hari maka aku tidak akan menyudahinya ehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat, maka aku akan mengerjakan shalat kemudian kembali mendengarkannya sehingga selesai keperluannya.”



Sumber :
~ buku Mengenal Shahabiah Nabi SAW, karya Mahmud Mahdi al-Istanbuly dan Musthafa Abu an-Nashar asy-Syalaby, halaman 242-246, penerbit AT-TIBYAN

~Buletin Islam al-Qoshiduun No 188 Edisi Oktober 2014, Penerbit : Yayasan Islam Al-Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar