MUSH’AB BIN UMAIR
(الأحزاب:٢٣)
“Di antara orang-orang mukmin itu
ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah”. (QS. Al-Ahzab : 23 )
Jika hendak ditanyakan, siapakah perintis masuknya Islam di Madinah sebelum
Rasulullah hijrah? Maka jawabnya adalah Mush’ab bin Umair. Ia memang salah
seorang sahabat Nabi, pahlawan dan perintis Islam di Madinah. Atas
kesungguhannya, Islam tersebar di Yatsrib (nama Madinah sebelum Islam),
sehingga memungkinkan Nabi diterima dalam hijrahnya.
Mush’ab lahir di Makkah dari
keluarga bangsawan yang kaya raya. Orangtuanya mendidiknya dengan royal dan
manja tapi fanatik terhadap kepercayaan jahiliyahnya. Postur tubuhnya gagah,
tegap, dan simpatik. Ia sangat menyenangi pakaian yang serba indah dan mahal. Banyak
orang menyenanginya, terutama gadis-gadis Arabia.
Tapi demikian, ketika umurnya
makin bertambah dewasa, Ia sering mendengar pembicaraan tentang berkumpulnya
orang-orang di bukit Shafa, di rumah Arqam bin Abi Arqam, mendengarkan
pengajian tentang Islam yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Mush’ab, pemuda yang cerdas dan
serba ingin tahu, mencoba pergi ke bukit Shafa. Ia tertarik dan masuk Islam. Ketika
itu pengikut Nabi masih sedikit.
Meski secara sembunyi-sembunyi Ia
masuk Islam, tapi akhirnya banyak orang yang tahu. Ibunya, Khunas binti
Malik, wanita yang ditakuti sebagian masyarakat Makkah, marah mendengar
anaknya masuk Islam. Sang Ibu bahkan mengancam, bila Mush’ab tidak mau
melepaskan keislamannya, Ia akan dikurung, tidak akan diakui sebagai anaknya,
dan akan diusir dari rumah.
Mush’ab, pemuda yang sudah bisa
membedakan antara yang hak dan yang bathil, dengan mantap berkata kepada Ibunya,
“Wahai Bunda, Ananda telah menyampaikan nasehat kepada Bunda, lantaran Ananda
sangat mencintai Bunda. Karena itu bersaksilah bahwa tiada Tuhan melainkan
Allah. dan Muhammad adalah hamba dan utusan Allah”.
Sang Ibu marah bukan main. Ancaman
pun mulai dijalankan. Mush’ab dikurung selama beberapa waktu lamanya.
Dalam masa pengurungan itu, Ia
mendengar para sahabat Nabi sedang melakukan hijrah ke Habsyah. jiwa Mush’ab
berontak, Ia ingin ikut pula ke Habsyah. Maka dari itu, Ia mencari berbagai
upaya sehingga berhasil keluar dari kurungan Ibunya, lari menjumpai Nabi, untuk
ikut ke Habsyah (Ethiopia sekarang).
Kaum muslimin ingin hijrah ke
Habsyah karena kebencian dan teror kafir Makkah makin mengganas. Karena itu
Rasulullah memerintahkan para sahabatnya pergi ke Habsyah. Tapi ternyata negeri
ini menolak kehadiran kaum muslimin (kendatipun tak sekasar Makkah). Terpaksalah
kaum muslimin kembali ke negeri asalnya, menarima penindasan yang lebih
dahsyat. Tak terkecuali Mush’ab yang telah diusir dari rumahnya dan tidak
diakui sebagai anak oleh orangtuanya.
Tapi demikian, Mush’ab tetap
tabah. Segala kemewahan hidupnya yang dialami selama ini ditanggalkannya secara
sungguh-sungguh. Pernah suatu hari ketika Nabi duduk-duduk dengan para
sahabatnya, Mush’ab datang dengan pakaian usang dan penuh tambalan.
Melihat perubahan yang mencolok
itu, Nabi menghiburnya dengan tulus ikhlas sembari berkata, “Dahulu saya
melihat Mush’ab tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang
tuanya. Tapi kemudian ia lepaskan semua kesenangan itu demi cintanya kepada
Allah dan Rasul-Nya”.
Menjadi Duta
Kebencian kafir Makkah kepada Nabi dan sahabatnya makin memuncak.
Sebaliknya, di luar Makkah, seperti di Madinah, nama Nabi mulai banyak
disebut-sebut dengan baik. Selama ini di Madinah memang sering diguncang perang
saudara yang berkepanjangan. Mereka sudah muak terhadap peperangan dengan
segala akibatnya. Kini mereka rindu sekali kepada kedamaian. Dan ajaran yang
dibawa Muhammad SAW. adalah jawaban satu-satunya yang tepat.
Kebetulan waktu itu datang musim
ziarah ke Ka’bah. Penduduk Madinah pun datang sesuai dengan tradisi mereka
sambil melakukan upacara sesembahan bagi dewa-dewa mereka.
Di tengah-tengah upacara
tradisional itu, keluarlah 12 orang dari mereka, pergi ke bukit Aqabah. Disana
mereka bertemu dengan Nabi, dan bersumpah tidak akan mempersekutukan Allah dan
meninggalkan semua pekerjaan yang tercela. (Peristiwa ini dikenal sebagai Baiatul
Aqabah I)
Mereka kemudian kembali ke
Madinah. Rasulullah lantas menugaskan Mush’ab menyertainya dengan tugas pokok
mengajarkan Islam kepada penduduk Madinah.
Penunjukan Nabi itu tentu
setelah melihat pribadi Mush’ab yang teguh dalam memegang prinsip-prinsip
Islam, otaknya yang cerdas, pengetahuannya yang luas khususnya keislaman,
ibadahnya yang tekun, amaliahnya yang cukup, serta akhlaknya yang baik.
Madinah di waktu itu masih
sedikit pemeluk Islamnya, hanya meliputi orang-orang yang melakukan Baiatul
Aqabah. Tapi demikian, karena ini tugas dakwah, apa pun beratnya tantangan
mesti dihadapi dengan jiwa yang tabah, dan penuh tawakal kepada Allah.
Belum setahun di Madinah,
Mush’ab telah melaporkan kepada Rasulullah di Makkah, bahwa orang-orang yang
mengikuti Islam sudah berlipat ganda. Bahkan di antara mereka akan datang
menemui Rasulullah dalam jumlah yang besar.
***
Seperti disampaikan Mush’ab
kepada Rasulullah, maka pada bulan Dzulhijjah, penduduk Madinah dari berbagai
suku dan kabilah datang berziarah ke Baitullah dalam jumlah besar. Dan seperti
waktu kedatangan sebelumnya, di tengah-tengah ziarah itu, sebanyak 75 orang di
antara mereka pergi meninggalkan kemah-kemahnya menuju ke lereng bukit Aqabah,
di tengah malam dan secara sembunyi-sembunyi.
Di suatu tempat yang ditentukan
bertemulah mereka dengan Rasulullah. Beliau ditemani Abbas bin Abdul
Muttalib. Dalam pertemuan yang sangat rahasia itumereka bersumpah untuk
membela Islam sampai titik darah penghabisan dan meminta agar Rasulullah
berkenan datang ke Madinah dengan jaminan mereka sendiri.
Mendengar kebulatan tekad
mereka, Nabi berkata tandas, “Aku adalah golongan kamu, dan kamu dari
golonganku. Karena itu, aku akan tetap memerangi siapa yang kamu musuhi dan
akan berdamai dengan siapa yang kamu ajak berdamai”
(Peristiwa penting kedua ini
dikenal dengan Baiatul Aqabah II)
***
Diakui tidak semua penduduk
Madinah mau menerima Islam yang disampaikan orang kepercayaan Rasulullah, yaitu
Mush’ab. Ini memang sunatullah,
disebelah ada orang yang suka tentu ada pula orang yang tidak suka. Di segi
lain, tugas Mush’ab hanya sekedar menyampaikan dakwah Islam. Mereka mau
menerima atau tidak adalah urusan Allah. Jika mendapat hidayah, tentu akan
menerima ajakan Islam, jika tidak tetap kafirlah.
Suatu hari, di sebuah kebun
milik Bani Zafar, Mush’ab dan Said bin Zurara duduk-duduk bersama
kawan-kawannya yang telah sama-sama masuk Islam. Suasananya sangat akrab. Hal
ini mengundang Sa’ad bin Mu’adh dan Usaid bin Hudzair (dua orang pimpinan
dua kabilah di Madinah yang masih musyrik) ramah.
“Coba kau temui, Mush’ab dan
Said yang datang ke daerah kita dengan tujuan agar orang-orang kita yang jembel
merendahkan keluarga kita. Peringatkan dan gagalkan usaha mereka selanjutnya!”
perintah Sa’ad kepada Usaid.
Usaid lalu pergi memperingatkan
Mush’ab dengan garang. Sebaliknya Mush’ab menjawabnya dengan tenang. “Maukah
Anda duduk sebentar saja mendengarkan apa yang selama ini saya sampaikan kepada
penduduk Madinah?” JIka anda menyukai pembicaraan saya, saya percaya tentu anda
akan menerimanya. tapi jika tidak, saya pun dengan rela akan menghentikan semua
kegiatan saya.”
“Baik kalau begitu, ini
betul-betul tindakan perwira dan adil”, balas Usaid masih dalam kemarahannya,
sambil menancapkan tombaknya ke tanah, persis di depan Mush’ab.
Mush’ab lalu membacakan
ayat-ayat Al-Qur’an dan menjelaskan maksudnya. Dan perlahan-lahan wajah Usaid
yang galak menantang, tertunduk pasrah mengakui segala kesalahannya selama ini.
Ia akhirnya masuk Islam dalam bimbingan Mush’ab dan kembali menemui temannya,
Sa’ad bin Mu’adh, menyampaikan segala pengalamannya bertemu dengan duta
Rasulullah, Mush’ab bun Umair.
Demi mendengar laporan jujur
dari teman setianya itu, Sa’ad pun ikut pula masuk Islam. Dan dengan Islamnya
kedua tokoh kabilah itu, maka seluruh anak buah mereka masuk Islam semua. Hingga
demikian makin meratalah orang-orang Madinah yang memeluk Islam. Suatu
keislaman yang sangat tulus keluar dari sanubarinya yang paling dalam, sehingga
sulit dicari bandingannya. Kelak Rasulullah sampai menggelari mereka kelompok
Anshar, kelompok penolong bagi kaum yang meninggalkan kampung halamannya di
Makkah, demi Islam.
Pahlawan Uhud
Tatkala Nabi dan kaum muslimin hijrah di Madinah, Islam menjadi lebih cepat
tersebar ke mana-mana. Kenyataan ini menimbulkan rasa iri dan dendam yang dalam
bagi kafir Makkah. Mereka sampai meningkatkan perlawanannya dalam bentuk fisik,
perang. Dan Nabi terpaksa harus menghadapinya di medan perang, sehingga
terjadilah Perang Badar yang dimenangkan kaum muslimin.
Dengan
kekalahan di Badar, dendam kusumat musyrik Makkah makin mendalam. Mereka
menuntut balas kepada Nabi. Dan Nabi terpaksa menghadapinya lagi di bukit Uhud
(dikenal dengan Perang Uhud).
Di medan perang ini, Nabi
memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi bila musuh menyerang. Dari
itu setiap kelompok diaturnya sedemikian rupa dengan tugas dan tanggung
jawabnya yang jelas dan tegas. Dan untuk menghadapi medan yang berat itu, Nabi
menugaskan Mush’ab memegang panji-panji Islam.
Genderang perang berbunyi. Babak
pertama, pasukan Islam menang. Hal ini membuat pasukan pemanah yang ditempatkan
yang ditempatkan Nabi di belakang, di atas bukit, hanyut dalam kegembiraan
kemenangan. Mereka turun ke bawah mengejar musuh yang lari ketakutan.
Tindakan demikian, jelas
menyalahi aturan Nabi sebagai panglima perang. Akibatnya, musuh segera memutar
taktiknya, menggempur dari belakang hingga pasukan Islam porak poranda. Banyak
prajurit Islam berguguran, tak terkecuali Mush’ab, pembawa panji-panji Islam.
Seperti diabadikan oleh berbagai
penulis sejarah, dalam perang Uhud itu Mush’ab tampil dengan semangat dan
keberanian yang sangat tinggi. Ketika ia sedang maju terus mendesak musuh,
tiba-tiba datang seorang penunggang kuda, Ibnu Qumaiah menerjang Mush’ab
membabat tangannya hingga buntung. Bendera Islam yang dibawanya jatuh.
tapi Mush’ab yang telah putus
tangan kanannya, segera bangkit dan meraih bendera Islam dengan tangan kirinya.
Ia maju lagi dengan bendera di tangan sebelah.
Melihat ia masih segar, si
penunggang kuda menjadi beringas. Diterjangnya Mush’ab, dan dengan pedang yang
masih dipenuhi darah segar, dibabatnya tangan kiri Mush’ab sampai putus.
Bendera Islam jatuh lagi. Kaum muslimin panik lagi.
Mush’ab mencoba bangkit kembali
dan dengan dua tangan yang sudah putus itu dicobanya untuk meraih bendera dari
bawah hingga berkibar lagi. Tapi lagi-lagi keberingasan Ibnu Qumaiah
mengakibatkan Mush’ab jatuh tersungkur bersama benderanya.
Ia gugur sebagai pahlawan
sejati!
Nabi Berduka
Setelah perang usai, Nabi
bersama para sahabat yang masih hidup kemudian memeriksa para syuhada yang
berguguran menghiasi bumi Allah. Nabi sangat berduka. Air matanya berlinangan
menyaksikan sahabat-sahabat pilihannya gugur, seperti Mush’ab, Hamzah, dll.
Ketika memandang jasad Mush’ab,
air mata Nabi makin membasah, Khabbab bin ‘Urrat yang menyertai Nabi dalam inspeksi itu,
melukiskan keadaan itu sebagai berikut :
“Kami hijrah di jalan Allah
bersama Rasulullah SAW, dengan mengharap keridhaan-Nya semata, hingga pahala
dari Allah ditetapkan. Di antara kami ada yang telah berlalu sebelum menikmati
pahalanya di dunia ini, seperti Mush’ab yang gugur di perang Uhud. Tak sehelai
kain pun yang menutupinya selain burdah yang bila ditempatkan di atas
kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan kakinya,
terbukalah kepalanya. Rasulullah kemudian bersabda “Tutuplah bagian kepalanya
dan bagian kakinya dengan rumput Zikir”.
Dan sambil terus memandang jasadnya,
Rasulullah berkata, “Ketika di Makkah dulu, tak seorangpun yang kulihat lebih
halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripadamu. Tetapi sekarang rambutmu
menjadi kusut, masai, dan dibalut sehelai burdah.”
Rasulullah kemudian membaca ayat
seperti dikutip pada awal karangan ini.
Oleh : Badruzzaman
Busyairi
Sumber : Buletin Dakwah
No 48 Th. ke XIV ( Rabi’ul Awal 1408 H / November 1987 ) dengan sedikit editan
pada ejaan kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar