Minggu, 25 Oktober 2015

Kisah Sahabat Nabi : Mush'ab bin Umair

MUSH’AB BIN UMAIR



(الأحزاب:٢٣)


Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah”. (QS. Al-Ahzab : 23 )

Jika hendak ditanyakan, siapakah perintis masuknya Islam di Madinah sebelum Rasulullah hijrah? Maka jawabnya adalah Mush’ab bin Umair. Ia memang salah seorang sahabat Nabi, pahlawan dan perintis Islam di Madinah. Atas kesungguhannya, Islam tersebar di Yatsrib (nama Madinah sebelum Islam), sehingga memungkinkan Nabi diterima dalam hijrahnya.
                Mush’ab lahir di Makkah dari keluarga bangsawan yang kaya raya. Orangtuanya mendidiknya dengan royal dan manja tapi fanatik terhadap kepercayaan jahiliyahnya. Postur tubuhnya gagah, tegap, dan simpatik. Ia sangat menyenangi pakaian yang serba indah dan mahal. Banyak orang menyenanginya, terutama gadis-gadis Arabia.
                Tapi demikian, ketika umurnya makin bertambah dewasa, Ia sering mendengar pembicaraan tentang berkumpulnya orang-orang di bukit Shafa, di rumah Arqam bin Abi Arqam, mendengarkan pengajian tentang Islam yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW.
                Mush’ab, pemuda yang cerdas dan serba ingin tahu, mencoba pergi ke bukit Shafa. Ia tertarik dan masuk Islam. Ketika itu pengikut Nabi masih sedikit.
                Meski secara sembunyi-sembunyi Ia masuk Islam, tapi akhirnya banyak orang yang tahu. Ibunya, Khunas binti Malik, wanita yang ditakuti sebagian masyarakat Makkah, marah mendengar anaknya masuk Islam. Sang Ibu bahkan mengancam, bila Mush’ab tidak mau melepaskan keislamannya, Ia akan dikurung, tidak akan diakui sebagai anaknya, dan akan diusir dari rumah.
                Mush’ab, pemuda yang sudah bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil, dengan mantap berkata kepada Ibunya, “Wahai Bunda, Ananda telah menyampaikan nasehat kepada Bunda, lantaran Ananda sangat mencintai Bunda. Karena itu bersaksilah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. dan Muhammad adalah hamba dan utusan Allah”.
                Sang Ibu marah bukan main. Ancaman pun mulai dijalankan. Mush’ab dikurung selama beberapa waktu lamanya.
                Dalam masa pengurungan itu, Ia mendengar para sahabat Nabi sedang melakukan hijrah ke Habsyah. jiwa Mush’ab berontak, Ia ingin ikut pula ke Habsyah. Maka dari itu, Ia mencari berbagai upaya sehingga berhasil keluar dari kurungan Ibunya, lari menjumpai Nabi, untuk ikut ke Habsyah (Ethiopia sekarang).
                Kaum muslimin ingin hijrah ke Habsyah karena kebencian dan teror kafir Makkah makin mengganas. Karena itu Rasulullah memerintahkan para sahabatnya pergi ke Habsyah. Tapi ternyata negeri ini menolak kehadiran kaum muslimin (kendatipun tak sekasar Makkah). Terpaksalah kaum muslimin kembali ke negeri asalnya, menarima penindasan yang lebih dahsyat. Tak terkecuali Mush’ab yang telah diusir dari rumahnya dan tidak diakui sebagai anak oleh orangtuanya.
                Tapi demikian, Mush’ab tetap tabah. Segala kemewahan hidupnya yang dialami selama ini ditanggalkannya secara sungguh-sungguh. Pernah suatu hari ketika Nabi duduk-duduk dengan para sahabatnya, Mush’ab datang dengan pakaian usang dan penuh tambalan.
                Melihat perubahan yang mencolok itu, Nabi menghiburnya dengan tulus ikhlas sembari berkata, “Dahulu saya melihat Mush’ab tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya. Tapi kemudian ia lepaskan semua kesenangan itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya”.